Oleh: Hasbollah Toisuta, Ketua Umum IKASSI Ambon
IKASSI.AMBON– “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang hanif, fitrah Allah yang menciptakan manusia melalui (fitrah) itu. Tidak ada perubahan atas ciptaan Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Ar Rum: 30).
Genap 30 hari akhirnya umat Islam merampungkan kewajiban puasanya hari ini, dan bersiap untuk menyambut Idul Fitri, 1 Syawal1446 H. besok pagi. Selama sebulan umat Islam berada pada sebuah “ruang spiritual”, melakukan proses transendensi diri (muhasabah). Ruang spiritual ini merupakan siklus hidup yang stiap tahun hadir membersamai kita dengan segenap tawaran “pasar murah pahala” dan janji-janji kebahagiaan.
Puasa Ramadhan bagi orang awam dapat dimaknai hanya sekedar proses pengendalian diri dengan tidak makan dan minum serta aktifitas sexual di siang hari. Namun bagi mereka yang mencoba menyelami makna terdalam dari ibadah ini, puasa adalah inti dari ajaran Islam itu sendiri. Sebuah _riyadhah_ menuju jati diri primordial atau dalam istilah Mullah Sadrah disebut dengan usaha untuk mendapatkan _al-hikmah al-mutha’aliyah_ atau teosofi transenden (puncak kearifan).
Ramadhan adalah ruang jeda dari berbagai hiruk pikuk dan lalulintas retorika politik. Lepas dari gravitasi duniawi yang merupakan gelombang pasang destruktif dan masuk ke dalam orbit kemanusiaan kita yang fitri. Inilah “hadap diri” bercermin dan berefleksi, melakukan komunikasi intens dengan diri sendiri (_self communication_) guna mengevaluasi jejak perjalanan masa lalu dan memproyeksikan langkah-langkah ke depan yang oleh baginda Nabi disebut dengan _muhasabah_ (introspeksi).
Mereka yang dengan intens melakukan “hadap diri” atau _self communication_ kelak akan tiba pada stasiun teosofi transenden yang merupakan kearifan tertinggi (_hikmah al-mutha’aliyah_). Dan setiap orang yang mendapati kearifan puncak akan dirinya, maka dia akan arif terhadap Tuhannya (_Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu_). Inilah titik spektrum dari rahasia ibadah puasa. Bahwa kembali ke fitrah adalah fitrah kesadaran ketuhanan, _ma’rifah Allah_ . Menyadari akan Allah sebagai _omnipresence_ (serba hadir) dan serba dekat, menempatkan kita untuk pantang menjalani hidup secara absurd, apalagi tanpa tujuan. Fitrah bertuahan ini pula yang menjadi cetak biru manusia paripurna (_insan kamil_).
Id al-fithrah_ merupakan hari kemenangan. Kemenangan karena berhasilnya kita menaklukkan ego rendah (_nafsu hayawan_) dan larut dalam kesadaran akan Dia yang Maha Ego, yang pada masa di alam ruh telah melakukan perjanjian dan kesaksian primordial, “_alastu bi robbikum, qaalu bala syahidna_”.
Maka kebahagiaan sesungguhnya bagi mereka yang berpuasa bukan pada janji “obral pahala” dalam analogi terbukanya pintu-pintu syurga, melainkan pada saat kita menjemput fitrah kesucian asal kita (_id al-fithrah_) dan saat dimana kita menjumpai Allah. Sabda Nabi: _”li as-shaaimnina farhataani, farhatan ‘inda al-fhutur wa farhatan ‘inda liqaa robbihi”. Wallahu’alam
MINAL AIDIN WALFAIZIN
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN










Discussion about this post